Kita harus mulai mengubah paradigma berpikir, bahwa kemuliaan sejati bukan berasal dari apa yang orang lain berikan kepada kita, tapi dari apa yang bisa kita berikan kepada orang lain.
Suatu ketika sepasang suami istri yang baru dikarunia seorang anak terlibat percakapan. Sang istri berkata, "Abi, alhamdulillah ya Allah mengabulkan doa kita. Sekarang kita sudah punya rumah sendiri, padahal sebelumnya Ummi sempat bertanya-tanya bisa nggak ya kita punya rumah?". "Ya, kita harus bersyukur. Hidup kita selalu dimudahkan Allah," ujar sang suami mengamini. Kemudian ia melanjutkan, "Tapi ingat bahwa rumah ini bukan milik kita, juga bukan milik anak kita. Semua ini hanyalah titipan Allah".
"Ya, saya ngerti. Tapi apa maksud Abi bahwa rumah ini bukan milik anak kita? Bukankah nanti akan diwariskan pada anak-anak kita?" tanya istri tersebut. Suami itu menjawab, "Abi sangat tidak setuju bila kamu berpikiran seperti itu. Abi ingin rumah ini nanti dimiliki oleh mereka yang membutuhkan, anak-anak yatim atau orang yang tidak punya lainnya". Dengan terkejut si istri menyela, "Lho, kok bisa begitu. Bagaimana dengan anak-anak kita?".
"Begini Ummi, kita harus menanamkan sikap mandiri dan mau berbagi kepada anak kita. Kalau dari sekarang kita sudah memanjakannya atau menjanjikan bahwa kalau sudah dewasa ia tak perlu susah-susah bikin rumah karena akan dapat "warisan", maka ia tidak akan mau bekerja keras apalagi berbagi. Kita harus menanamkan kepada dia bahwa rumah ini adalah milik umat, dia tidak berhak memilikinya. Karena itu, dia harus kaya, harus mampu membangun rumah sendiri, syukur-syukur mampu membangunkan rumah bagi orang lain. Sekali-kali jangan kita tanamkan kebiasaan meminta, tapi tanamkanlah kebiasaan memberi," ungkap si Abi dengan bersemangat.
Ada satu pelajaran penting dari kisah di atas, kita -- terutama yang telah berkeluarga -- harus mulai mengubah paradigma berpikir, bahwa kemuliaan yang sejati bukan berasal dari apa yang orang lain berikan kepada kita, tapi dari apa yang bisa kita berikan kepada orang lain. Paradigma berpikir seperti ini harus mulai kita tanamkan, baik dalam diri sendiri, pasangan hidup, maupun anak-anak. Ya, memberi -- apalagi bila dilandasi keikhlasan -- adalah perilaku yang teramat mulia. Bahkan, Rasulullah SAW memberi julukan "khairunnaas; manusia terbaik" kepada orang yang selalu memberi dan tak pernah menjadi beban bagi orang lain. Beliau bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain".
Konsekuensi dari paradigma ini adalah "sebelum kita dapat memberi, kita harus memiliki sesuatu untuk diberikan, dan untuk dapat memiliki sesuatu itu, kita harus mengusahakannya". Jadi ada rangkaian turunan dari paradigma memberi ini. Kita sulit untuk bersedekah (uang) bila kita tidak memiliki uang untuk disedekahkan. Untuk mendapatkan uang kita harus mengusahakannya. Kita pun sulit membagikan ilmu kepada banyak orang, bila kita tidak memiliki ilmu tersebut. Ilmu itu sendiri akan kita dapatkan bila kita mau berikhtiar mencarinya.
Demikianlah, saat kita menginginkan anak-anak kita menjadi manusia terbaik, yang lebih suka memberi daripada menerima, maka kita (orang tua) harus mengisi jiwanya dengan benih-benih kebaikan. Diharapkan benih-benih tersebut akan tumbuh menjadi pohon yang buahnya bisa dinikmati banyak orang. Ketika orang tua menginginkan anaknya mampu beramal dengan ilmunya, maka orang tua harus menanamkan cinta ilmu kepadanya. Ketika orang tua menginginkan mereka menjadi seorang dermawan, maka bentuklah mereka sebagai seorang yang "pandai" mencari uang dan tidak pelit. Ketika orang tua menginginkan mereka menjadi penyebar kebaikan, maka isilah jiwanya dengan akhlak mulia.
Sekali lagi, semua ini tidak akan pernah mengena sebelum orang tua mengisi jiwanya terlebih dulu dengan nilai-nilai tersebut. Dengan kata lain harus ada teladan, baik dalam pola pikir maupun dalam tindakan. Teladan ini teramat penting dalam keluarga, karena orang tua adalah model pertama dan utama bagi anak. Ketika Albert Schweitzer ditanya tentang bagaimana mengembangkan anak, dia menjawab: "Ada tiga prinsip. Pertama teladan. Kedua teladan. Dan ketiga teladan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar