4.22.2008

FENOMENA HARI VALENTINE


Jika kita lihat fakta generasi sekarang, banyak dari mereka yang bercermin dengan gaya artis, idola, atau orang yang mempunyai daya tarik lebih. Mulai dari gaya pakaiannya, gaya dandanannya, dan semua yang berkenaan dengannya. Begitu juga dengan momen-momen yang berbau kebarat-baratan seperti Valentine Day atau Hari Kasih Sayang atau pesta Helloween yang banyak dirayakan di Metropolis ini. Berbagai tempat hiburan mulai dari restoran sampai super market menyuguhkan berbagai atraksi dan pernik valentine, dari acara bagi-bagi bunga 'Kasih Sayang', pemilihan pasangan model valentine, jamuan makan, hingga pesta atau bentuk hiburan lainnya.

Kita sendiri tidak pernah tahu sejak kapan budaya memperingati Valentine Day tersebut masuk ke negeri ini. Tapi yang jelas, seperti yang dimuat dihampir semua media massa di negeri ini, ternyata tidak sedikit saudara-saudara kita yang juga merayakannya. Entah dengan kirim kartu, kirim bunga, bikin pesta atau pergi berdua dengan pasangannnya. Dan sepertinya ini sudah tradisi bagi remaja-remaja kita sekarang, termasuk di dalamnya para generasi muda Islam. Mereka dengan senang hati mengekor pada budaya yang konon katanya dari barat itu tanpa memiliki rasa ingin tau sebenarnya Valentine Day itu.

Riwayat Valentine

Valentine, berarti kado dan kartu. Begitulah tradisi yang berkembang di kalangan anak muda sekarang. Begitu menjelang tanggal 14 Februari, maka sibuklah mereka mencari berbagai macam kartu bagus diselingi dengan menyusun kata-kata romantis dan penuh cinta, membuat coklat berbentuk hati, bunga mawar, sampai pada baju serba warna pink.

Ensiklopedia Katolik menyebutkan tiga versi tentang Valentine, tetapi versi terkenal adalah kisah Pendeta St.Valentine yang hidup di akhir abad ke 3 M di zaman Raja Romawi Claudius II. Pada tanggal 14 Februari 270 M Claudius II menghukum mati St.Valentine yang telah menentang beberapa perintahnya. Claudius II melihat St.Valentine mengajak manusia kepada agama nasrani lalu dia memerintahkan untuk menangkapnya.

Dalam versi kedua, Claudius II memandang para bujangan lebih tabah dalam berperang daripada mereka yang telah menikah yang sejak semula menolak untuk pergi berperang. Maka dia mengeluarkan perintah yang melarang pernikahan. Tetapi St.Valentine menentang perintah ini dan terus mengadakan pernikahan di gereja dengan sembunyi-sembunyi sampai akhirnya diketahui lalu dipenjarakan.

Dalam penjara dia berkenalan dengan putri seorang penjaga penjara yang terserang penyakit. Ia mengobatinya hingga sembuh dan jatuh cinta kepadanya. Sebelum dihukum mati, dia mengirim sebuah kartu yang bertuliskan "Dari yang tulus cintanya, Valentine". Hal itu terjadi setelah anak tersebut memeluk agama nashrani bersama 46 kerabatnya.

Versi ketiga menyebutkan ketika agama nashrani tersebar di Eropa, di salah satu desa terdapat sebuah tradisi Romawi yang menarik perhatian para pendeta. Dalam tradisi itu para pemuda desa selalu berkumpul setiap pertengahan bulan Februari. Mereka menulis nama-nama gadis desa dan meletakkannya di dalam sebuah kotak, lalu setiap pemuda mengambil salah satu nama dari kotak tersebut, dan gadis yang namanya keluar akan menjadi kekasihnya sepanjang tahun. Ia juga mengirimkan sebuah kartu yang bertuliskan "dengan nama tuhan Ibu, saya kirimkan kepadamu kartu ini”.

Akibat sulitnya menghilangkan tradisi Romawi ini, para pendeta memutuskan mengganti kalimat "dengan nama tuhan Ibu" dengan kalimat "dengan nama Pendeta Valentine" sehingga dapat mengikat para pemuda tersebut dengan agama Nashrani. Versi lain mengatakan St.Valentine ditanya tentang Atharid, tuhan perdagangan, kefasihan, makar dan pencurian, dan Jupiter, tuhan orang Romawi yang terbesar. Maka dia menjawab tuhan-tuhan tersebut buatan manusia dan bahwasanya tuhan yang sesungguhnya adalah Isa Al Masih, Maha Tinggi Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang yang dzalim tersebut. Bahkan saat ini beredar kartu-kartu perayaan keagamaan ini dengan gambar anak kecil dengan dua sayap terbang mengitari gambar hati sambil mengarahkan anak panah ke arah hati yang sebenarnya merupakan lambang tuhan cinta bagi orang-orang Romawi.

Bolehkah merayakannya?

Saat ini banyak remaja, bahkan seorang muslimah berjilbab pun tak luput dari serangan penyakit ikut-ikutan dan mengekor pada budaya Barat atau nashrani akibat pengaruh TV dan media massa lainnya. Termasuk pula dalam hal ini perayaan Hari Valentine, yang pada dasarnya adalah mengenang kembali pendeta St.Valentine.

Keinginan untuk ikut-ikutan memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dengan kita dari sisi keyakinan dan pemikirannya. Apalagi bila mengikuti dalam perkara akidah, ibadah, syi'ar dan kebiasaan. Padahal Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman yang artinya:

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan diminta pertangggungjawabannya” (Al Isra' : 36).

Dalam QS. Al-Maidah ayat 5, Allah Subhannahu wa Ta'ala juga telah berfirman, yang artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Padahal Rasululloh telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam : "Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut." (HR. At-Tirmidzi).

Bila dalam merayakannya bermaksud untuk mengenang kembali Valentine maka tidak disangsikan lagi bahwa ia telah kafir, adapun bila ia tidak bermaksud demikian maka ia telah melakukan suatu kemungkaran yang besar.

Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang Valentine’s Day mengatakan :

“Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena:

Pertama: ia merupakan hari raya bid‘ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari‘at Islam. Kedua: ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) – semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.”

Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ ( loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi (membedakan diri dengan) orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku.

Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya membaca,

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:6-7)

Bagaimana bisa ia memohon kepada Allah agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri malah menempuh jalan sesat itu dengan sukarela. Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kita ketinggalan jauh dengan bangsa barat, namun bukan berarti harus mengikuti peribadatan mereka yang semakin memperjelas “keterjajahan” kita. Hampir semua produk di semua aspek kehidupan didunia ini dikuasai oleh bangsa barat, tapi dari situ bisa kita ambil pelajaran yang kemudian kita amalkan dalam nuansa keislaman dengan niatan ibadah kepada Allah azza wa jalla. Jika kita menggunakan benda-benda yang bersifat 'aam (umum) ini tidaklah menjadi masalah karena memang bersifat umum, namun tidak demikian halnya dengan benda-benda yang bersifat khas seperti kalung patung Yesus atau patung Budha ataupun simbol NAZI, maka kaum muslimin dilarang untuk memakainya.

Demikian juga, kita tidak boleh mengambil atau melakukan upacara-upacara adat atau budaya-budaya suatu kaum yang itu merupakan manifestasi dari pemahaman kaum tersebut tentang kehidupan yang berbeda dengan Islam, seperti upacara ngaben, natalan, imlek, melarung sajen ke laut untuk tolak bala dan sebagainya. Karena jelas-jelas peradaban yang dihasilkan dari ide dasar yang bertentangan dengan Islam itu pasti akan bertentangan pula dengan peradaban Islam, baik dari segi asasnya, pandangannya terhadap kehidupan maupun dari arti kebahagiaan hidup bagi manusia.

Demikian juga halnya dengan benda-benda yang dipengaruhi oleh peradaban ghoiru (selain) Islam seperti pakaian yang menunjukkan identitas kekafiran dan hanya dipakai oleh orang kafir, maka tidak boleh dipakai oleh seorang muslim, seperti baju pendeta, baju biksu, dan sebagainya. Sebab pakaian semacam itu menyandang pandangan hidup tertentu. Akan tetapi jika tidak demikian, yakni jika pakaian tersebut telah menjadi kebiasaan dalam berbusana dan tidak dianggap khusus sebagai pakaian khusus orang kafir, tapi hanya dipakai untuk sekedar memenuhi kebutuhan atau pemanis busana, maka dalam hal ini pakaian tersebut termasuk dalam jenis bentuk-bentuk benda yang bersifat umum dan boleh dikenakan.

Menggunakan benda-benda yang umum tidak masalah karena sifatnya umum, berbeda sama yang khas, kaum muslimin dilarang untuk memakai atau menggunakannya jika dipengaruhi sama ide/pemahaman tertentu tentang kehidupan selain Islam.

Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami …dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.

Semoga Allah Subhannahu wa Ta'ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.

Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah dengan menyampaikan ini kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya. Kebenaran hakiki hanyalah milik Allah semata, kita sebagai manusia hanya berusaha dan berikhtiar secara maksimal untuk menjaga dan menjungjung tinggi nilai-nilai kebenaran tersebut. Insyaallah…

Sebuah ayat untuk kita renungkan dalam QS. Yasin ayat 10 yang artinya:

Dan sama saja bagi mereka, apakah engkau member peringatan kepada mereka atau engkau tidak member peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman juga”.


Memberi, Bukan Menerima

Kita harus mulai mengubah paradigma berpikir, bahwa kemuliaan sejati bukan berasal dari apa yang orang lain berikan kepada kita, tapi dari apa yang bisa kita berikan kepada orang lain.

Suatu ketika sepasang suami istri yang baru dikarunia seorang anak terlibat percakapan. Sang istri berkata, "Abi, alhamdulillah ya Allah mengabulkan doa kita. Sekarang kita sudah punya rumah sendiri, padahal sebelumnya Ummi sempat bertanya-tanya bisa nggak ya kita punya rumah?". "Ya, kita harus bersyukur. Hidup kita selalu dimudahkan Allah," ujar sang suami mengamini. Kemudian ia melanjutkan, "Tapi ingat bahwa rumah ini bukan milik kita, juga bukan milik anak kita. Semua ini hanyalah titipan Allah".

"Ya, saya ngerti. Tapi apa maksud Abi bahwa rumah ini bukan milik anak kita? Bukankah nanti akan diwariskan pada anak-anak kita?" tanya istri tersebut. Suami itu menjawab, "Abi sangat tidak setuju bila kamu berpikiran seperti itu. Abi ingin rumah ini nanti dimiliki oleh mereka yang membutuhkan, anak-anak yatim atau orang yang tidak punya lainnya". Dengan terkejut si istri menyela, "Lho, kok bisa begitu. Bagaimana dengan anak-anak kita?".

"Begini Ummi, kita harus menanamkan sikap mandiri dan mau berbagi kepada anak kita. Kalau dari sekarang kita sudah memanjakannya atau menjanjikan bahwa kalau sudah dewasa ia tak perlu susah-susah bikin rumah karena akan dapat "warisan", maka ia tidak akan mau bekerja keras apalagi berbagi. Kita harus menanamkan kepada dia bahwa rumah ini adalah milik umat, dia tidak berhak memilikinya. Karena itu, dia harus kaya, harus mampu membangun rumah sendiri, syukur-syukur mampu membangunkan rumah bagi orang lain. Sekali-kali jangan kita tanamkan kebiasaan meminta, tapi tanamkanlah kebiasaan memberi," ungkap si Abi dengan bersemangat.

Ada satu pelajaran penting dari kisah di atas, kita -- terutama yang telah berkeluarga -- harus mulai mengubah paradigma berpikir, bahwa kemuliaan yang sejati bukan berasal dari apa yang orang lain berikan kepada kita, tapi dari apa yang bisa kita berikan kepada orang lain. Paradigma berpikir seperti ini harus mulai kita tanamkan, baik dalam diri sendiri, pasangan hidup, maupun anak-anak. Ya, memberi -- apalagi bila dilandasi keikhlasan -- adalah perilaku yang teramat mulia. Bahkan, Rasulullah SAW memberi julukan "khairunnaas; manusia terbaik" kepada orang yang selalu memberi dan tak pernah menjadi beban bagi orang lain. Beliau bersabda, "Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain".

Konsekuensi dari paradigma ini adalah "sebelum kita dapat memberi, kita harus memiliki sesuatu untuk diberikan, dan untuk dapat memiliki sesuatu itu, kita harus mengusahakannya". Jadi ada rangkaian turunan dari paradigma memberi ini. Kita sulit untuk bersedekah (uang) bila kita tidak memiliki uang untuk disedekahkan. Untuk mendapatkan uang kita harus mengusahakannya. Kita pun sulit membagikan ilmu kepada banyak orang, bila kita tidak memiliki ilmu tersebut. Ilmu itu sendiri akan kita dapatkan bila kita mau berikhtiar mencarinya.

Demikianlah, saat kita menginginkan anak-anak kita menjadi manusia terbaik, yang lebih suka memberi daripada menerima, maka kita (orang tua) harus mengisi jiwanya dengan benih-benih kebaikan. Diharapkan benih-benih tersebut akan tumbuh menjadi pohon yang buahnya bisa dinikmati banyak orang. Ketika orang tua menginginkan anaknya mampu beramal dengan ilmunya, maka orang tua harus menanamkan cinta ilmu kepadanya. Ketika orang tua menginginkan mereka menjadi seorang dermawan, maka bentuklah mereka sebagai seorang yang "pandai" mencari uang dan tidak pelit. Ketika orang tua menginginkan mereka menjadi penyebar kebaikan, maka isilah jiwanya dengan akhlak mulia.

Sekali lagi, semua ini tidak akan pernah mengena sebelum orang tua mengisi jiwanya terlebih dulu dengan nilai-nilai tersebut. Dengan kata lain harus ada teladan, baik dalam pola pikir maupun dalam tindakan. Teladan ini teramat penting dalam keluarga, karena orang tua adalah model pertama dan utama bagi anak. Ketika Albert Schweitzer ditanya tentang bagaimana mengembangkan anak, dia menjawab: "Ada tiga prinsip. Pertama teladan. Kedua teladan. Dan ketiga teladan".

Indahnya Sedekah

Ini sebuah kisah nyata yang diceritakan oleh seorang bijak. Suatu malam, seorang laki-laki datang ke rumahnya dan berkata, ''Ada sebuah keluarga dengan delapan anak yang sudah berhari-hari tidak makan.'' Mendengar hal itu bergegaslah orang bijak itu pergi membawa makanan untuk mereka.

Ketika tiba di sana ia melihat wajah anak-anak itu begitu menderita karena kelaparan. Tak ada kesedihan ataupun kepedihan di wajah mereka, hanya derita yang dalam karena menahan lapar.

Orang bijak itu memberikan nasi yang dibawanya pada sang ibu. Ibu itu lantas membagi nasi itu menjadi dua bagian, lalu ke luar membawa setengahnya. Ketika ia kembali, orang bijak itu bertanya, ''Kau pergi kemana?'' Ibu itu menjawab, ''Ke tetangga-tetanggaku. Mereka juga lapar.''

Orang bijak itu tercengang. Ia tidak heran kalau si ibu membagi nasi itu dengan tetangga-tetangganya, sebab ia tahu orang miskin biasanya pemurah. Yang ia herankan adalah karena si ibu tahu bahwa mereka lapar. Biasanya kalau kita sedang menderita, kita begitu terfokus pada diri sendiri, sehingga tak punya waktu untuk memikirkan orang lain.

Si ibu dalam cerita di atas adalah contoh orang yang telah dapat melampaui dirinya sendiri. Ia dapat melepaskan keterikatannya pada kebutuhan fisik dan secara bersamaan memenuhi kebutuhan spiritualnya yaitu untuk berbagi dengan orang lain. Kualitas semacam ini tentu tak dapat diraih dalam waktu singkat. Ini memerlukan proses pergulatan batin yang cukup panjang.

Kehidupan manusia memang senantiasa menjadi tempat pergulatan dua kepentingan utama: fisik dan spiritual. Kepentingan fisik adalah hal-hal yang kita butuhkan untuk bisa hidup di masa sekarang, seperti sandang, pangan dan papan. Ini kebutuhan jangka pendek kita. Sementara, kepentingan spiritual adalah hal-hal yang kita butuhkan untuk hidup di masa sekarang dan masa yang akan datang. Ini adalah kebutuhan jangka pendek sekaligus jangka panjang.

Pemenuhan kedua macam kebutuhan ini akan menghasilkan kualitas hidup yang tinggi. Sayang, banyak orang yang tak menyadari hal ini. Mereka menghabiskan hidup mereka hanya untuk mengumpulkan harta benda. Untuk itu mereka juga tak segan-segan menggunakan cara yang buruk: menciptakan kebijakan yang menguntungkan diri sendiri, menguras uang rakyat, mencuri uang perusahaan, maupun menciptakan konspirasi yang merugikan orang banyak.

Kalau kita renungkan secara mendalam, semua kejahatan yang ada di dunia ini berasal dari satu kata: keserakahan. Dan, akar keserakahan adalah pada cara kita memandang hidup ini. Selama kita melihat diri kita semata-mata makhluk fisik belaka, selama itu pula kita tak dapat membendung keinginan kita untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Betapa banyaknya dalam kehidupan sehari-hari kita melihat orang yang berpenghasilan biasa-biasa saja, tetapi memiliki harta yang luar biasa banyaknya.

Ada banyak alasan yang dapat dikemukakan untuk merasionalkan hal itu. Pertama, semua orang yang mendapat kesempatan pasti akan melakukannya. Kedua, penghasilan yang saya dapatkan terlalu kecil dan tidak seimbang dengan pengorbanan yang saya berikan. Ketiga, toh kekayaan yang saya dapatkan tidak saya nikmati sendiri tetapi saya gunakan untuk membantu anak yatim, membiayai orang tua dan saudara yang sedang sakit, membangun sekolah, dan sebagainya. Dengan berbagai alasan tersebut kita mendapatkan ''ketenangan sementara'' karena seolah-olah perbuatan yang kita lakukan telah berubah menjadi legal, rasional atau paling tidak dapat dimaklumi.

Namun, ketenangan semacam ini tidaklah langgeng. Pasti ada sesuatu dalam diri kita yang kembali mengusik kita, membuat kita resah dan gelisah. Perhatikanlah orang-orang yang hidup dengan cara ini. Mereka sangat rentan terhadap perubahan yang sekecil apapun. Mereka sangat jauh dari ketentraman yang sejati. Betapapun banyaknya harta yang mereka kumpulkan tak akan pernah melahirkan perasaan cukup dan puas. Sebuah pepatah mengatakan, ''The world is enough for everybody, but not enough for one greedy.'' Apa yang disediakan oleh dunia ini sebetulnya cukup untuk semua orang, tetapi tidak akan cukup untuk seorang yang rakus.

Sebuah perubahan dramatis akan terjadi begitu kita sadar bahwa kita bukanlah makhluk fisik tetapi makhluk spiritual. Kita menjadi makhluk spiritual untuk selama-lamanya. Sebelum muncul ke dunia, kita adalah makhluk spiritual, ketika hidup sekarang kita juga makhluk spiritual, dan ketika kita meninggal kita tetap menjadi makhluk spiritual. Kita hanya menjadi makhluk fisik di dunia ini saja.

Salah satu cara paling efektif untuk menyadari hal itu adalah dengan berpuasa. Dengan puasa kita akan sadar bahwa kebutuhan (ini berbeda dengan keinginan) kita sebetulnya sangatlah sedikit. Berpuasa juga akan menyadarkan kita bahwa dengan mengurangi kenikmatan fisik kita akan mendapatkan kenikmatan spiritual yang luar biasa. Dengan berpuasa kita keluar melampaui ''diri rendah'' kita menuju Diri kita yang lebih tinggi. Dengan puasa kita lepaskan keterikatan kita pada gravitasi bumi. Kita bergerak melesat mengikuti gravitasi langit.